gravatar

Gus Dur: Membaca Sejarah Nusantara


Kawan, berdekatan dengan peringatan 100 hari meninggalnya Gus Dur yang dilakukan di banyak tempat mulai kemaren Rabu, Minggu pagi 11 April ini aku ingat buku yang isinya kumpulan artikel-artikel Gus Dur. Buku dengan KH.A. Mustofa Bisri sebagai pengantar ini berjudul "Membaca Sejarah Nusantara", terbit kemarin Januari setelah Gus Dur wafat. Artikel ke empat dari buku ini mengulas tentang sosok Sultan Agung, Raja Mataram itu. Tiga halaman awal artikel itu bercerita tentang pandangan agraris beliau dan penyerangan beliau ke Batavia.

(hal.13)
Sebagai penguasa Jawa yang menegakkan sistem agraris, dapat dimengerti jika ia kemudian menghancurkan pusat-pusat kelautan (maritim kita), seperti Jepara, Tuban, dan Surabaya. Sistem keningratan yang ditegakkannya menghasilkan para abdi dalem (pejabat kraton) yang hanya mementingkan kelas atas yang berkuasa belaka. Aspirasi rakyat dan kekuatan-kekuatan rakyat lainnya, sama sekali tidak mendapatkan perhatian. Karena itu, cerita yang sampai ke tangan kita hanyalah mengenai intrik-intrik kraton belaka.

(hal.15)
Kisah penyerangannya atas Jakarta (saat itu bernama Batavia) adalah pelajaran sejarah yang sangat menarik. Dia menempati kawasan sebelah timur Sungai Ciliwung, dengan menduduki wilayah Salemba. Paseban (tempat ia menerima sebo atau orang-orang yang menghadap dan menyembahnya) didampingi oleh pusat Tentara Jawa Mataram (sekarang bernama Matraman) dan Tentara Bali Mataram (sekarang bernama Bali Matraman) ditambah lagi dengan kawasan bala tentara panglimanya (Wiragunan, sekarang bernama Ragunan) adalah bukti adanya penyerbuan tersebut.

Namun, ia gagal merebut Batavia dari tangan Belanda, yang menggunakan Sungai Ancol, Sungai Kalimalang dari arah pasar Rumput ke barat dan Sungai Cideng hingga ke tepi laut teluk Jakarta sebagai alat pertahanan alami untuk menghadapi raja Jawa tersebut. Sultan Agung tidak dapat menyeberangkan pasukannya melintasi ketiga sungai tersebut, karena pihak Belanda menyediakan pasukan-pasukan yang menggunakan panah api di kebon-kebon seberang sungai, seperti kebon melati, kebon kacang, kebon sayur, dan sebagainya. Itu pun masih ada kebon sirih yang melapisi pertahanan tersebut dengan keluarga-keluarga Belanda tinggal di daerah Gambir (Weltevreden), dengan aman.

Belanda mengorganisir kekuatannya secara efisien, menggunakan Sungai Ciliwung dari Pasar Baru ke barat dan berbelok ke utara menuju Glodok, yang dipenuhi orang-orang China. Jadi, Gambir sebagai pusat pemerintahan, sedangkan Glodok sebagai pusat perdagangan yang aman dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya tanpa gangguan apapun dari raja Jawa itu. Kecenderungan besar Sultan Agung untuk menumpukkan kekuasaan pada sektor agraris, membuat ia buta akan pentingnya kekuatan maritim untuk menyerbu kota besar tersebut dari laut. Jika hal ini ia lakukan, tentu tidak semudah itu Belanda dapat mempertahankan kota di atas. Dan, sejarah kita sebagai bangsa tentu akan berbeda pula jalannya.

Keterbatasan Sultan Agung sangat tampak di sini. Tapi, kelebihannya dalam menerapkan sistem pemerintahan agraris, juga membuahkan hasil tersendiri...

Popular Posts