gravatar

Gus Dur: Negara Islam, Adakah Konsepnya?


Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepsikan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Dua hal tersebut dan beberapa hal lain dapat ditemukan penjelasannya dalam salah satu artikel yang terdapat dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita. Buku dengan kata pengantar dari Dr.M.Syafi’i Anwar ini terbitan The Wahid Institute, 2006.
.............................................................

Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkan hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.

Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas an pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar – tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidinna Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasullulah Saw melalui bai’at/prasetia./ Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarkanlah kaum muslimin dari malapetaka. Sebelum Sayyidina Abu Bakar meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada di akhir hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college –ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyah/Ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.

Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepsikan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti bentuk komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai selluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membnunuh Trotsky di Meksiko.

Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukakan gagasan Negara Islam tanap ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-tercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para “pemimpipn moderat” seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan di negara tersebut, haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Kalau harus mengikuti paham Syiah itu, bukankah gagasan negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?

Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin yang terlalu memandang Islam dari sudut institusional belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gaagsan tersebut, adakah mereka masih layak untuk disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yang menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?

Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan mewujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum non-muslim? Bagaimana dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakan penulis juga harus bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu?

Popular Posts