gravatar

Operation Deliberate Force

Operation Deliberate Force (ODF) merupakan operasi militer yang dilakukan sejak tanggal 30 Agustus 1995 hingga 20 September 1995 untuk melemahkan kekuatan Serbia-Bosnia. Operasi yang melibatkan setidaknya ratusan pesawat tempur dan 5000 personnel dari 15 negara anggota NATO ini bukan hanya untuk mengamankan safe area dan personel PBB tetapi juga mengamankan usaha-usaha kemanusiaan PBB di Bosnia. Beberapa negara NATO yg terlibat setidaknya: Amerika dengan 127 pesawat, Perancis dengan 50 pesawat, Inggris dengan 28 pesawat, Italy dengan 24 pesawat, Turki dengan 18 pesawat.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari sumber-sumber berikut:

http://www.nato.int
(website Markas Besar NATO.)
http://www.afsouth.nato.int
http://www.afsouth.nato.int/factsheets/DeliberateForceFactSheet.htm
(Website Markas Besar NATO Divisi Naples, Italy. Allied Joint Force Command (JFC) Naples, Italy.)
http://www.un.org
(website United Nation atau Perserikatan Bangsa-Bangsa.)
http://www.un.org/depts/dpko/dpko/co_mission/unprofor.htm
http://www.un.org/depts/dpko/dpko/co_mission/unprof_p.htm

(website Perserikatan Bangsa-Bangsa, tentang Misi Perdamaian PBB UNPROFOR)
http://www.genevaconventions.org
http://www.icrc.org
(website International Comitee of the Red Cross atau Palang Merah Internasional.)
http://www.icrc.org/eng
(website ICRC dalam bahasa Inggris.)


Sekian banyak warga dunia, khususnya warga Semenanjung Balkan dan sekitarnya, tentu masih teringat pada Operation Deliberate Force. Operation Deliberate Force (ODF) merupakan operasi militer yang dilakukan sejak tanggal 30 Agustus 1995 hingga 20 September 1995 untuk melemahkan kekuatan Serbia-Bosnia. Serbia-Bosnia secara nyata telah menyerang serta sedang mengancam safe area yang telah ditentukan PBB. ODF tidak bertujuan menghancurkan kekuatan Serbia-Bosnia, melainkan hanya untuk memaksanya bersedia duduk di meja perundingan demi perdamaian bersama. Lebih jauh, operasi yang melibatkan setidaknya 400 pesawat tempur dan 5000 personnel dari 15 negara anggota NATO ini bukan saja hanya untuk mengamankan safe area dan personel PBB tetapi juga mengamankan usaha-usaha kemanusiaan PBB di Bosnia.

Beberapa bulan sebelum operasi ini digelar, pada awal bulan Juli tahun yang sama, Eropa dikejutkan dengan peristiwa ”The Fall of Sebrenica” yaitu jatuhnya kota Sebrenica dari perlindungan Tentara Penjaga Perdamaian PBB ke tangan Republik Srpska (lebih dikenal sebagai Serbia-Bosnia atau Serbia). Peristiwa ini kemudian berubah menjadi ”Sebrenica Massacre” yang menyebabkan setidaknya 8.000 Warga Bosnia-Herzegovina (lebih dikenal sebagai”Muslim Bosnia”) meninggal dunia. Tidak dapat diketahui dengan jelas berapa dan apa saja tindakan keji yang terjadi di Sebrenica pada peristiwa itu. Sejarah kemudian mencatat bahwa ”Sebrenica Massacre” merupakan mass murder terbesar di Eropa semenjak Perang Dunia II.

Di bulan-bulan tersebut, terjadi kasus di mana 400 Tentara Penjaga Perdamaian PBB yang bertugas di Bosnia yaitu United Nation Protection Force (UNPROFOR), ditawan dan dijadikan sebagai tameng hidup bagi Serbia. Penggunaan manusia sebagai tameng hidup sebagaimana dilarang oleh Konvensi Jenewa bukannya menjadikan negara-negara yang benar-benar peduli terhadap masalah perdamaian di Bosnia gentar, tetapi justru meningkatkan jalinan kerjasama mereka.

Kedisiplinan dan ketangguhan tiap individu baik pilot maupun personel darat dalam wadah kekompakan pasukan melengkapi keunggulan kecanggihan teknologi yang dimiliki. Teknologi militer canggih seperti satelit, precision guided bomb dan electronic jamming yang didukung dengan personel yang terlatih akhirnya memberi kemenangan telak pada NATO.

Setelah pertempuran tiga minggu tersebut, tercatat NATO hanya kehilangan 1 pesawat tempur Mirage 2000K Perancis sebagai biaya atas kehancuran besar bagi militer Serbia. Sekian banyak persenjataan berat Serbia hancur, demikian pula dengan depot amunisi, command-and-control bunkers, serta target lain seperti jalur komunikasi dan jembatan. Oleh karena kehancuran besar tersebut Serbia kemudian bersedia untuk duduk di meja perundingan, Dayton Agreement.

Dari catatan sejarah tentang ODF kita dapat membaca bahwa kekuatan militer atau kemenangan tempur adalah sangat signifikan bagi kemenangan atas peperangan. Tetapi, kemenangan di medan peperangan tidak akan dapat dicapai hanya dengan keunggulan tempur karena kekuatan kebersamaan antar bangsa sebenarnya lebih vital. Disebut lebih vital karena kebersamaan adalah pondasi kerjasama dan tanpa kebersamaan tidak akan ada kerjasama, termasuk kerjasama militer. Dalam hal ini, NATO dan PBB terbukti dapat membuat Serbia menyadari bahwa mereka berhadapan dengan sekian banyak bangsa yang berani melindungi perdamaian.

Dalam laporan NATO tentang ODF dapat kita lihat bahwa Turki menyumbangkan setidaknya 18 pesawat tempurnya. Itali, sebagai negara dengan kekuatan geografis terbaik untuk melakukan serangan, meminjamkan beberapa pangkalan udara militernya, mempersilahkan kekuatan militer negara lain mondar-mandir di angkasa negerinya. Masyarakat Itali di sekitar Pangkalan Udara Militer Istrana, Cervia, Ghedi, Pisa, Aviano tentu sulit melupakan peristiwa ini. Jerman menyumbangkan setidaknya 14 pesawat tempurnya. USA sebagai negara dengan kekuatan militer tercanggih selain menyumbangkan sekian banyak pesawat tempur juga menyumbangkan kapal induk USS Theodore Roosevelt.

Turki yang mayoritas penduduknya beragama Islam bekerjasama dengan Itali yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik. Perancis dan Inggris yang beberapa abad lalu bermusuhan, dalam ODF dua negara ini bersatu. Demikian pula Amerika dan Jerman yang masing-masing masih memiliki saksi hidup atas Perang Dunia II, dapat bekerjasama seolah tidak pernah terjadi permusuhan antar mereka.

Di samping itu, kerjasama ketika pertempuran sedang berlangsung jelas tidak dapat tercipta tanpa kekompakan di luar arena perang, di barak para personel misalnya. Saling menghargai tradisi kebudayaan, saling menghargai ritual keagamaan serta saling menghargai keterbatasan, kelebihan dan keunikan tiap bangsa merupakan hal yang mutlak harus ada dalam budaya kerja sehari-hari 5000 orang tersebut. Perbedaan warna kulit tetap ada, perbedaan bahasa tetap ada, perbedaan agama tetap ada, perbedaan ideologi tetap ada dan luka masa lalu pun juga tetap tertulis dalam lembar sejarah masing-masing bangsa, tetapi itu semua tidak menjadi hambatan dalam mencapai tujuan bersama, yaitu menegakkan perdamaian dunia, memuaskan kerinduan pada perdamaian.

Popular Posts